Monday, 20 February 2012

Negeri 5 Menara: Natural dan Rock


Sabtu kemarin, saya bersama-sama dengan blogger lain menyaksikan film Negeri 5 Menara yang diangkat dari buku dengan judul yang sama. Penasaran, saya sengaja datang paling pagi dari Kota Kembang bersama dengan seorang teman. Yah, selain memang ada acara menonton untuk dijadwalkan review, saya juga mengasah kemampuan nyasar saya ke Jakarta. 

Ketika membaca buku dan menonton film, akan ada perbandingan adegan mana yang dimunculkan dan tidak. Karena film tidak membutuhkan pendeskripsian perasaan sedih ketika Baso akan meninggalkan kawan-kawannya, misalnya, tanpa ada pendeskripsian pun, adegan itu membuat terharu. Apalagi para pemainnya fasih berbahasa daerah dan properti yang digunakan jadul banget.

Melihat kasus seperti ini, saya jadi teringat materi kuliah, teori yang disebut Ekranisasi, yang berarti pengadaptasian film yang diambil dari buku yang terbit terlebih dahulu. Nah, saya juga kembali menyadari kalo penyajian film tentu akan lebih berbeda dengan pendeskripsian dalam buku. Apa saja? Tentu saja karena film adalah media visual yang tidak membutuhkan kata-kata kalau warna merah itu “merah” maksud saya, penonton akan lebih mudah mencerna setiap adegan, mimik marah, suara pelan, berisik dan semacamnya dengan tidak dideskripsikan dalam tulisan. 

Sayang, saya belum membaca buku yang sudah dulu tenar ketimbang filmnya. Ya iyalah, novelnya udah membludak di pasaran, sementara filmnya baru akan tayang 1 Maret mendatang. Saya hanya tahu seputar film dan sinopsisnya serta cerita beberapa teman yang pernah membaca bukunya. hehehe ... tapi tidak menyurutkan niat saya untuk mereview film yang kata teman saya sangat direkomendasikan ini. So, saya menikmati film itu sebagaimana saya seorang apresiator film. Bagaimana jalan ceritanya, plot, ending, tata suara, artistik, disamping saya juga menikmati kegantengan David Chalik yang kebapakan itu. #maaf, salah fokus.  

Menceritakan lingkungan pesantren mungkin dapat mengingatkan lagi kepada mantan santri yang tinggal di pesantren. Termasuk saya, dulu pernah masuk pesantren dengan terpaksa, karena sudah kadung dibayar sama emak saya, makanya, pas tokoh Alif juga pergi ke Jawa untuk masuk pondok Madani, berasa saya dulu. Bedanya, sepanjang jalan ke pesantren saya ngomel dan nagih janji harus dibeliin komputer. Tentu saja Alif enggak seperti itu, dengan gaya cool, dia didampingi bapaknya ke jawa dengan bekal rendang buatan ibunya. Ah, andai saya seumur Alif. #kagak nyadar diri.

Perjalanan ke pesantren dan bagaimana perjuangan orangtua Alif menjual kerbau demi membiayai sekolahnya, akan membuat terharu. Apalagi ada adegan unik disini, ayah Alif, dan calon pembeli kerbau, melakukan transaksi dengan memasukkan tangan ke dalam sarung. Sarung apa? Ya sarung dengan arti sebenarnya. Mungkin ini memang tradisi Minang, melakukan transaksi seperti itu. Saya geli aja lihatnya. Bagaimana mereka berhasil mendapatkan persetujuan harga dengan masing-masing tangan bergumul dalam sarung. Jadi penasaran, apa tangannya dikelitik? Apa dielus-elus? Apa tangannya saling cubit plus bogem? Halah, yang pasti, sang ayah berhasil menjual kerbaunya itu untuk Alif. Adegan lain yang bikin membangkitkan semangat adalah kekompakan Alif dan teman-teman untuk menyemangati Baso berpidato menggunakan Bahasa Inggris yang terbata-bata. Alif dan teman-temannya menyiapkan semacam orang-orangan dari pakaian dan bola yang tidak terpakai. Akhirnya, "Man Jadda Wajada" jugalah yang memberikan semangat dalam film ini.

Sebetulnya, tidak ada yang istimewa atau dilebih-lebihkan ala sinetron disini, film menyajikan perjalanan Alif yang dari Padang ke pesantren Madani, bertemu dengan teman-teman baru, (Raja Lubis dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Madura, Atang dari Bandung, dan Baso dari Gowa), keseharian di pesantren, yang tidak jauh dari keseharian sebenarnya.
Geng Sahibul Menara
Pemain-pemain disini berakting secara natural dan disajikan apa adanya. Bagaimana seorang yang berperan sebagai Baso dan Atang yang jujur saja, saya suka akting mengalir mereka. Terlebih Atang, karena saya sendiri berasal dari tanah sunda. Selama ini, jarang saya menemukan seorang aktor yang apik berdialog dengan kesundaannya yang melulu memakai atuh dan teh. Atang bermain apik sebagai seorang yang berasal dari Bandung dan logat maupun tata bahasanya pun remaja sunda banget seperti: “ari kamu gimana?” (lupa dialognya). “emak saya akan marah kalau kamu enggak ikut atuh Lif, sok atuh hayu siap-siap!” (dialognya gak kayak gitu juga sih sebenarnya. Hahaha)

Namun, dibalik semua itu, saya tidak terlalu memerhatikan tepatnya tahun berapa setting film itu kalau tidak memerhatikan properti surat dan kaleng susu yang jadul banget. (antara tahun 1987-1990an) Makanya, ketika acara nonton selesai, saya nanya ke penulis, “Mas, setting filmnya tahun berapa?” “Kamu gak baca bukunya ya?” katanya. Hehehe … kalo udah baca bukunya buat apa nanya dong, Mas ah, bikin gatel aje … #tepuk pundak Mas Fuadi.

Sayangnya, saya kira agak kekinian ketika pesantren mengadakan pagelaran seni (atau apa namanya) yang menyajikan unsur breakdance-nya. Bukan, bukan breakdance yang saya komentari, karena tarian itu sudah ada sejak dulu. Baju yang dikenakannya mungkin bagi saya berasa nonton breakdance tahun 2000an. 

So, yang tidak bisa dilupakan adalah aksi "nge-rock" Ikang Fauzi. Ini seolah mematahkan bahwa seorang kiai tidak melulu bermusik shalawatan aja. Sang kiai yang disegani ini juga bisa membawa penonton melihat seorang yang tegas, disegani, bela umat, tapi tetap demokratis. #standing applause buat Mas Ikang.

Dibalik akting para pemainnya yang mengalir, ada beberapa suara yang menurut saya enggak jelas. Mungkin saja karena posisi kamera dan mic yang membelakangi atau apa, saya enggak ngerti dah teknisnya. Yang pasti, ketika adegan Alif pamit kepada sahabatnya, saya tanya sama teman saya: apa katanya? Dia jawab: tau, gue juga gak dengar. Jiaaahhh

Hal yang menurut saya agak gereget adalah saya tidak begitu mendapatkan unsur 5 menara itu bagaimana. Karena film hanya menyoroti menara yang itu-itu saja dengan gang Sahibul Menara berkumpul dibawahnya. Dalam bayangan saya, meskipun setting film bukan di Negara yang diimpikan Geng Sahibul Menara, ada adegan mereka membayangkan berdiri di bawah masing-masing menara lambang Negara impian mereka. Jadi ngebayangin, saya berfoto dibawah menara Eiffel, dengan Andhika Pratama. Aaaaahhh romantisnya. #kembali ke review.
Seperti saya bilang, saya rasa akan lebih dapat lagi artistik dan dramatiknya ketika, misalnya, setiap anak membayangkan di Negara impian mereka dan berpose di bawah menara. Terlebih lagi, tiba-tiba saja alurnya maju sampai setting film berlatar kira-kira tahun 1996 atau 2000-an (ini perkiraan saya, kalo nanya ke penulis, entar ditanya lagi udah baca bukunya apa kagak). Dan anak-anak yang disebut Sahibul menara itu tumbuh dewasa. Lah? Menaranya mana?

Tapi, meskipun saya tidak begitu menangkap arti 5 menara, yang disuguhkan dalam film sesuai judul, mungkin akan ada lagi sekuel film ini nantinya, seperti novelnya yang akan dibuat trilogi. Ini sih dari kacamata saya sebagai penulis dan pengapresiasi film. Ada kekurangan dan kelebihannya menurut saya. Iya kan? 

Menilai film tidaklah sama dengan menilai buku, karena saya melihat, mendengar dan menyaksikan. Terlebih bagi yang belum baca bukunya seperti saya, jadi fokus ke filmnya saja. Namun, ending cerita yang menggantung begitu saja membuat saya tidak menyadari filmnya sudah habis. Adegan anggota geng Sahibul Menara dewasa dan meraih impian masing-masing patut saya apresiasi. Meskipun saya lebih suka para aktor remajanya. Lebih cute dan seger. hehehe
bersama penulis buku, pemain film, dan blogger lain 

Judul: Negeri 5 Menara
Berdasarkan buku Negeri 5 Menara Karya: A. Fuadi
Pemain: Gazza Zubizzaretha, Ernest Samudera, Billy Sandi, Rizki Ramdani, Aris Adnanda Putra, Jiofani Lubis, David Chalik, Lulu Tobing, Andhika Pratama, Ikang Fauzy.
Sutradara: Affandi Abdul Rachman
Produser: Aoura Lovenson Chandra

21 comments:

  1. mantabs reviewnya jeng :D
    moga lolos ya :)

    rupanya kita sehati,,nampilin poto barengan di akhir postingan nyiahahhah :D

    ReplyDelete
  2. Wah jadi pengen nonton, baru sempet baca novelnya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. saya aja blom baca novelnya. kepengen makanya nanti kalo udah gajian hehehe

      Delete
  3. Oooh, ini toh.
    Asik banget ya teh bisa nonton di awal dan barengan sama penulis & pemain filmnya. :D

    Bagus reviewnya teh.

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih nak Yudis, iya asiiik jadi kalo ada unek2 langsung ke yang bersangkutan. heuheu

      Delete
  4. pengen ikutan eike syif,, hahaha
    selamat ya,, lolos. ngga ente banget tapi ;p

    ReplyDelete
  5. selamat apa??? cuma nulis Deph...
    enggak ane banget gimana??? jangan buka kartu dong neng....
    #kibas rambut

    ReplyDelete
  6. Review-nya Kak Syifa JUARA... Baru tau yang namanya Ekranisasi. Itu gambarnya kenapa kepalanya dipotong? serem.. haha

    ReplyDelete
  7. bukunya aku gak tertarik, belum tahu nih... apakah filmnya mau nonton atau gak. secara gimana githu...
    *apaan, coba?

    ReplyDelete
  8. kalo di novel ada prolog si alif yg udah di amerika ngehubungin tmennya gtu di mesir.ya mungkin mereka trpisah msg2 terpencar ke 5 negeri itu.tapi 5 menaranya itu bs jd makna kiasan jg.intinya...baca novelnya..!#teriak,menggeram,mata melotot ala meriem belina di sinetron#haha...
    Ishh...tambah pgen nonton setelah baca reviewnya.emang bkn kisah luar biasa,skedar kisah sderhana yg ga jauh dr khdupan sehari2 kan?tapi itu yg berkesan.kadang males jg liat film dgn konflik lebay.just like you said:natural.

    ReplyDelete
    Replies
    1. itulah bedanya buku dengan film teh Gita, buku bisa memaparkan dalam bentuk kata-kata dan kalimat sementara film adalah visualisasi. kalaupun ada prolog di awal film, kita harus mengulang lagi dimana dia bercerita dan apa awal ceritanya.

      Makanya, Film yang mengadaptasi novel memang seharusnya betul-betul bisa mewakili gambaran dalam novel agar tidak terjadi "pembelokan" cerita. Ini karena film membutuhkan efek dramatik yang tidak digambarkan. heuheu
      mkasih eaaa nanti ane pinjem nopelnya... #kere nih kalo beli wakakakaka

      Delete
  9. aduwh banyak bhsa yg bgtu aku ngeti..hehe..agak culang cileung sih nih bacanya, krna blm baca tu buku sm blm nonton,,hehe..ini teh jd reviewan gtu yah..bagus sih teh..klo teteh nulis asa mau ketawa mulu..hehe..mungkin kali yah, 5 menara itu artinya..menara itu kan tinggi..seorang ank negeri yg memiliki cita" tinggi kali teh..begitu..hehe.mereun ini mah

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih ya Nak Ridha...
      ya berarti seenggaknya kamu ada gambaran Negeri 5 Menara itu kyak mana. hehehe...

      kalo bingung dan culang cileung itu bagus, berarti kamu akan mencari jawaban kebingungan kamu. hehe :P

      Delete
  10. akhirnya keingetan juga buat baca review film ini setelah curhat gaje ama penulisnya# ups....
    ok, temen saya udah membaca bukunya dan dia sangat2 menyukai dan merekomendasikannya pada saya....
    seharusnya saya baca dulu bukunya lalu nonton filmnya ntar...dan berdasarkan review penulis blog ini..its worth to watch....
    ice riview andbahasanya juga ringan....
    good luck

    ReplyDelete
    Replies
    1. Trimakasih Kawan Dian, heuheu...
      nanti curhat gaje lagi yak...

      Delete
  11. belom pernah nonton :( n pengen onoton

    ReplyDelete
  12. mantap mbak ..:)
    saya suka link nya ..
    salam sukses selalu ..:D

    ReplyDelete
  13. aku belum nonton. baca reviewnya jadi penasaran pengen nonton. walaupun katanya gak mirip-mirip amat ya sama bukunya. habisnya disini bioskop jauuuuh X(

    ReplyDelete
  14. terimakasih sekali gan telah berbagi informasi yang sangat menarik dan sangat bermanfaat bagi banyak orang, di tunggu infomasi slanjutnya
    sukses terus

    ReplyDelete
  15. isi blog nya sangat menarik menjadikan wawasan bagi pembaca

    ReplyDelete

untuk kalian yang tidak memiliki blog, atau Google account, bisa mengomentari lewat NAME/URL
NAME bisa diisi dengan namamu, dan URL bisa diisi www.facebook.com