Sabtu kemarin,
saya bersama-sama dengan blogger lain
menyaksikan film Negeri 5 Menara yang diangkat dari buku dengan judul yang sama.
Penasaran, saya sengaja datang paling pagi dari Kota Kembang bersama dengan seorang
teman. Yah, selain memang ada acara menonton untuk dijadwalkan review, saya
juga mengasah kemampuan nyasar saya ke Jakarta.
Ketika
membaca buku dan menonton film, akan ada perbandingan adegan mana yang dimunculkan
dan tidak. Karena film tidak membutuhkan pendeskripsian perasaan sedih ketika
Baso akan meninggalkan kawan-kawannya, misalnya, tanpa ada pendeskripsian pun,
adegan itu membuat terharu. Apalagi para pemainnya fasih berbahasa daerah dan
properti yang digunakan jadul banget.
Melihat kasus
seperti ini, saya jadi teringat materi kuliah, teori yang disebut Ekranisasi,
yang berarti pengadaptasian film yang diambil dari buku yang terbit terlebih
dahulu. Nah, saya juga kembali menyadari kalo penyajian film tentu akan lebih
berbeda dengan pendeskripsian dalam buku. Apa saja? Tentu saja karena film
adalah media visual yang tidak membutuhkan kata-kata kalau warna merah itu
“merah” maksud saya, penonton akan lebih mudah mencerna setiap adegan, mimik
marah, suara pelan, berisik dan semacamnya dengan tidak dideskripsikan dalam tulisan.
Sayang, saya
belum membaca buku yang sudah dulu tenar ketimbang filmnya. Ya iyalah,
novelnya udah membludak di pasaran, sementara filmnya baru akan tayang 1 Maret
mendatang. Saya hanya
tahu seputar film dan sinopsisnya serta cerita beberapa teman yang pernah membaca
bukunya. hehehe ... tapi tidak menyurutkan niat saya untuk mereview film yang kata teman saya sangat direkomendasikan ini. So, saya menikmati film
itu sebagaimana saya seorang apresiator film. Bagaimana jalan ceritanya, plot, ending, tata suara, artistik, disamping
saya juga menikmati kegantengan David Chalik yang kebapakan itu. #maaf, salah
fokus.
Menceritakan
lingkungan pesantren mungkin dapat mengingatkan lagi kepada mantan santri yang
tinggal di pesantren. Termasuk saya, dulu pernah masuk pesantren dengan
terpaksa, karena sudah kadung dibayar sama emak saya, makanya, pas tokoh Alif
juga pergi ke Jawa untuk masuk pondok Madani, berasa saya dulu. Bedanya,
sepanjang jalan ke pesantren saya ngomel dan nagih janji harus dibeliin komputer.
Tentu saja Alif enggak seperti itu, dengan gaya cool, dia didampingi bapaknya ke jawa dengan bekal rendang buatan
ibunya. Ah, andai saya seumur Alif. #kagak nyadar diri.
Perjalanan ke
pesantren dan bagaimana perjuangan orangtua Alif menjual kerbau demi membiayai
sekolahnya, akan membuat terharu. Apalagi ada adegan unik disini, ayah Alif,
dan calon pembeli kerbau, melakukan transaksi dengan memasukkan tangan ke dalam
sarung. Sarung apa? Ya sarung dengan arti sebenarnya. Mungkin ini memang tradisi
Minang, melakukan transaksi seperti itu. Saya geli aja lihatnya. Bagaimana
mereka berhasil mendapatkan persetujuan harga dengan masing-masing tangan
bergumul dalam sarung. Jadi penasaran, apa tangannya dikelitik? Apa dielus-elus?
Apa tangannya saling cubit plus bogem? Halah, yang pasti, sang ayah berhasil
menjual kerbaunya itu untuk Alif. Adegan lain yang bikin membangkitkan semangat adalah kekompakan Alif dan teman-teman untuk menyemangati Baso berpidato menggunakan Bahasa Inggris yang terbata-bata. Alif dan teman-temannya menyiapkan semacam orang-orangan dari pakaian dan bola yang tidak terpakai. Akhirnya, "Man Jadda Wajada" jugalah yang memberikan semangat dalam film ini.
Sebetulnya,
tidak ada yang istimewa atau dilebih-lebihkan ala sinetron disini, film
menyajikan perjalanan Alif yang dari Padang ke pesantren Madani, bertemu dengan teman-teman
baru, (Raja Lubis dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Madura, Atang dari Bandung, dan Baso dari Gowa), keseharian di pesantren, yang tidak jauh dari keseharian sebenarnya.
Geng Sahibul Menara |
Pemain-pemain
disini berakting secara natural dan disajikan apa adanya. Bagaimana seorang
yang berperan sebagai Baso dan Atang yang jujur saja, saya suka akting mengalir
mereka. Terlebih Atang, karena saya sendiri berasal dari tanah sunda. Selama
ini, jarang saya menemukan seorang aktor yang apik berdialog dengan
kesundaannya yang melulu memakai atuh
dan teh. Atang bermain apik sebagai
seorang yang berasal dari Bandung dan logat maupun tata bahasanya pun remaja sunda
banget seperti: “ari kamu gimana?”
(lupa dialognya). “emak saya akan marah kalau kamu enggak ikut atuh Lif, sok atuh hayu siap-siap!”
(dialognya gak kayak gitu juga sih sebenarnya. Hahaha)
Namun, dibalik
semua itu, saya tidak terlalu memerhatikan tepatnya tahun berapa setting film itu kalau tidak memerhatikan
properti surat dan kaleng susu yang jadul banget. (antara tahun 1987-1990an) Makanya, ketika acara nonton
selesai, saya nanya ke penulis, “Mas, setting filmnya tahun berapa?” “Kamu gak
baca bukunya ya?” katanya. Hehehe … kalo udah baca bukunya buat apa nanya dong,
Mas ah, bikin gatel aje … #tepuk pundak Mas Fuadi.
Sayangnya, saya
kira agak kekinian ketika pesantren mengadakan pagelaran seni (atau apa
namanya) yang menyajikan unsur breakdance-nya.
Bukan, bukan breakdance yang saya
komentari, karena tarian itu sudah ada sejak dulu. Baju yang dikenakannya
mungkin bagi saya berasa nonton breakdance
tahun 2000an.
So, yang tidak bisa dilupakan adalah aksi "nge-rock" Ikang Fauzi. Ini seolah mematahkan
bahwa seorang kiai tidak melulu bermusik shalawatan aja. Sang kiai yang
disegani ini juga bisa membawa penonton melihat seorang yang tegas, disegani,
bela umat, tapi tetap demokratis. #standing
applause buat Mas Ikang.
Dibalik akting
para pemainnya yang mengalir, ada beberapa suara yang menurut saya enggak
jelas. Mungkin saja karena posisi kamera dan mic yang membelakangi atau apa, saya enggak ngerti dah teknisnya.
Yang pasti, ketika adegan Alif pamit kepada sahabatnya, saya tanya sama teman
saya: apa katanya? Dia jawab: tau, gue juga gak dengar. Jiaaahhh
Hal yang
menurut saya agak gereget adalah saya tidak begitu mendapatkan unsur 5 menara
itu bagaimana. Karena film hanya menyoroti menara yang itu-itu saja dengan gang
Sahibul Menara berkumpul dibawahnya. Dalam bayangan saya, meskipun setting film bukan di Negara yang
diimpikan Geng Sahibul Menara, ada adegan mereka membayangkan berdiri di bawah
masing-masing menara lambang Negara impian mereka. Jadi ngebayangin, saya berfoto
dibawah menara Eiffel, dengan Andhika Pratama. Aaaaahhh romantisnya. #kembali
ke review.
Seperti saya
bilang, saya rasa akan lebih dapat lagi artistik dan dramatiknya ketika,
misalnya, setiap anak membayangkan di Negara impian mereka dan berpose di bawah
menara. Terlebih lagi, tiba-tiba saja alurnya maju sampai setting film berlatar kira-kira tahun 1996 atau 2000-an (ini
perkiraan saya, kalo nanya ke penulis, entar ditanya lagi udah baca bukunya apa
kagak). Dan anak-anak yang disebut Sahibul menara itu tumbuh dewasa. Lah?
Menaranya mana?
Tapi, meskipun saya tidak
begitu menangkap arti 5 menara, yang disuguhkan dalam film sesuai judul, mungkin akan ada lagi sekuel film ini nantinya, seperti novelnya
yang akan dibuat trilogi. Ini sih dari kacamata saya sebagai penulis dan
pengapresiasi film. Ada kekurangan dan kelebihannya menurut saya. Iya kan?
Menilai film
tidaklah sama dengan menilai buku, karena saya melihat, mendengar dan
menyaksikan. Terlebih bagi yang belum baca bukunya seperti saya, jadi fokus ke
filmnya saja. Namun, ending cerita
yang menggantung begitu saja membuat saya tidak menyadari filmnya sudah habis. Adegan
anggota geng Sahibul Menara dewasa dan meraih impian masing-masing patut saya
apresiasi. Meskipun saya lebih suka para aktor remajanya. Lebih cute dan seger. hehehe
mantabs reviewnya jeng :D
ReplyDeletemoga lolos ya :)
rupanya kita sehati,,nampilin poto barengan di akhir postingan nyiahahhah :D
amiiiiiiiiiiinnnn heuheu
ReplyDeleteWah jadi pengen nonton, baru sempet baca novelnya..
ReplyDeletesaya aja blom baca novelnya. kepengen makanya nanti kalo udah gajian hehehe
DeleteOooh, ini toh.
ReplyDeleteAsik banget ya teh bisa nonton di awal dan barengan sama penulis & pemain filmnya. :D
Bagus reviewnya teh.
makasih nak Yudis, iya asiiik jadi kalo ada unek2 langsung ke yang bersangkutan. heuheu
Deletepengen ikutan eike syif,, hahaha
ReplyDeleteselamat ya,, lolos. ngga ente banget tapi ;p
selamat apa??? cuma nulis Deph...
ReplyDeleteenggak ane banget gimana??? jangan buka kartu dong neng....
#kibas rambut
Review-nya Kak Syifa JUARA... Baru tau yang namanya Ekranisasi. Itu gambarnya kenapa kepalanya dipotong? serem.. haha
ReplyDeletebukunya aku gak tertarik, belum tahu nih... apakah filmnya mau nonton atau gak. secara gimana githu...
ReplyDelete*apaan, coba?
kalo di novel ada prolog si alif yg udah di amerika ngehubungin tmennya gtu di mesir.ya mungkin mereka trpisah msg2 terpencar ke 5 negeri itu.tapi 5 menaranya itu bs jd makna kiasan jg.intinya...baca novelnya..!#teriak,menggeram,mata melotot ala meriem belina di sinetron#haha...
ReplyDeleteIshh...tambah pgen nonton setelah baca reviewnya.emang bkn kisah luar biasa,skedar kisah sderhana yg ga jauh dr khdupan sehari2 kan?tapi itu yg berkesan.kadang males jg liat film dgn konflik lebay.just like you said:natural.
itulah bedanya buku dengan film teh Gita, buku bisa memaparkan dalam bentuk kata-kata dan kalimat sementara film adalah visualisasi. kalaupun ada prolog di awal film, kita harus mengulang lagi dimana dia bercerita dan apa awal ceritanya.
DeleteMakanya, Film yang mengadaptasi novel memang seharusnya betul-betul bisa mewakili gambaran dalam novel agar tidak terjadi "pembelokan" cerita. Ini karena film membutuhkan efek dramatik yang tidak digambarkan. heuheu
mkasih eaaa nanti ane pinjem nopelnya... #kere nih kalo beli wakakakaka
aduwh banyak bhsa yg bgtu aku ngeti..hehe..agak culang cileung sih nih bacanya, krna blm baca tu buku sm blm nonton,,hehe..ini teh jd reviewan gtu yah..bagus sih teh..klo teteh nulis asa mau ketawa mulu..hehe..mungkin kali yah, 5 menara itu artinya..menara itu kan tinggi..seorang ank negeri yg memiliki cita" tinggi kali teh..begitu..hehe.mereun ini mah
ReplyDeletemakasih ya Nak Ridha...
Deleteya berarti seenggaknya kamu ada gambaran Negeri 5 Menara itu kyak mana. hehehe...
kalo bingung dan culang cileung itu bagus, berarti kamu akan mencari jawaban kebingungan kamu. hehe :P
akhirnya keingetan juga buat baca review film ini setelah curhat gaje ama penulisnya# ups....
ReplyDeleteok, temen saya udah membaca bukunya dan dia sangat2 menyukai dan merekomendasikannya pada saya....
seharusnya saya baca dulu bukunya lalu nonton filmnya ntar...dan berdasarkan review penulis blog ini..its worth to watch....
ice riview andbahasanya juga ringan....
good luck
Trimakasih Kawan Dian, heuheu...
Deletenanti curhat gaje lagi yak...
belom pernah nonton :( n pengen onoton
ReplyDeletemantap mbak ..:)
ReplyDeletesaya suka link nya ..
salam sukses selalu ..:D
aku belum nonton. baca reviewnya jadi penasaran pengen nonton. walaupun katanya gak mirip-mirip amat ya sama bukunya. habisnya disini bioskop jauuuuh X(
ReplyDeleteterimakasih sekali gan telah berbagi informasi yang sangat menarik dan sangat bermanfaat bagi banyak orang, di tunggu infomasi slanjutnya
ReplyDeletesukses terus
isi blog nya sangat menarik menjadikan wawasan bagi pembaca
ReplyDelete